Jumat, 10 Desember 2010

Mencintai Penanda Dosa

by Ema Ari Apriliana di 12/10/2010 06:30:00 PM 0 komentar


Dalam hidup, Allah sering menjumpakan kita dengan orang-orang yang membuat hati bergumam lirih, “Ah, surga masih jauh.” Pada banyak kejadian, ia diwakili oleh orang-orang penuh cahaya yang kilau keshalihannya kadang membuat kita harus memejam mata.
Dalam tugas sebagai Relawan Masjid di seputar Merapi hari-hari ini, saya juga bersua dengan mereka-mereka itu. Ada suami-isteri niagawan kecil yang oleh tetangganya sering disebut si mabrur sebelum haji. Selidik saya menjawabkan, mereka yang menabung bertahun-tahun demi menjenguk rumah Allah itu, menarik uang simpanannya demi mencukupi kebutuhan pengungsi yang kelaparan dan kedinginan di pelupuk mata.
“Kalau sudah rizqi kami”, ujar si suami dengan mata berkaca nan manusiawi, “Kami yakin insyaallah akan kesampaian juga jadi tamu Allah. Satu saat nanti. Satu saat nanti.” Saya memeluknya dengan hati gerimis. Surga terasa masih jauh di hadapan mereka yang mabrur sebelum berhaji.
Ada lagi pengantin surga. Keluarga yang hendak menikahkan dan menyelenggarakan walimah putra-putrinya itu bersepakat mengalihkan beras dan segala anggaran ke barak pengungsi. Nikah pemuda-pemudi itu tetap berlangsung. Khidmat sekali. Dan perayaannya penuh doa yang mungkin saja mengguncang ‘Arsyi. Sebab semua pengungsi yang makan hidangan di barak nan mereka dirikan berlinangan penuh  haru memohonkan keberkahan.
Catatan indah ini tentu masih panjang. Ada rumah bersahaja berkamar tiga yang menampung seratusan pelarian musibah. Untuk pemiliknya saya mendoa, semoga istana surganya megah gempita. Ada juru masak penginapan berbintang yang cutikan diri, membaktikan keahlian di dapur umum. Ada penjual nasi gudheg yang sedekahkan 2 pekan dagangannya bagi ransum para terdampak bencana. Semoga tiap butir nasi, serpih sayur, dan serat lelaukan bertasbih untuk mereka.
Ada juga tukang pijit dan tukang cukur yang keliling cuma-cuma menyegarkan raga-raga letih, barak demi barak. Ad dokter-dokter yang rela tinggalkan kenyamanan ruang berpendingin untuk berdebu-debu dan berjijik-jijik. Ada  lagi para mahasiswa dan muda-mudi yang kembali mengkanakkan diri, membersamai dan menceriakan bocah-bocah pengungsi. Semua kebermanfaatan surgawi itu, sungguh membuat iri.
***
“Ah, surga masih jauh.”
Setelah bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru mengajak untuk menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa pendosa. Jiwa yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa tidak? Bukankah Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa yang berhasil melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia?
Musa pernah membunuh orang. Yunus bahkan sempat  lari dari tugas risalah yang seharusnya dia emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian untuk tak mendekat pada pohon yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya diabadikan Al Quran. Kita membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb Pencipta kami, telah kami aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi mengampuni dan menyayangi, niscaya jadilah kami termasuk mereka yang rugi-rugi.” Mereka pernah menjadi jiwa pendosa, tetapi sikap terbaik memuliakan kelanjutan sejarahnya.
Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu mengatakan  bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap pendosa yang bertaubat, berhijrah, dan  berupaya memperbaiki diri umumnya tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan dosanya. Tapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk mencintai penanda dosanya?
Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.
“Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya.
“Ah, surga masih jauh.”
Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di nafasnya.
Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.
Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syari’at tetap terjaga.
“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?”
“Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?”
“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”
Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”
Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.
Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.
“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur.”
Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.
“Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh dosa.
“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”
“SubhanaLlah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.
“Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan, “Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustrasi?”
“Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.
Allah, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Allah, jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisiMu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhanMu nan Maha Rahman dan Rahim.
Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apapun menghina jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn  Hanbal dalam Kitab Az Zuhd yang selalu menginsyafkan kami. “Sejak dulu kami menyepakati”, tulis beliau, “Bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”
-salim a. fillah, www.safillah.co.cc-
***
NB: sahibatul hikayah berpesan agar kisah ini diceritakan untuk berbagi tentang betapa pentingnya menjaga iman, rasa taqwa, dan tiap detail syari’atNya di tiap langkah kehidupan. Juga agar ada pembelajaran untuk kita bisa memilih sikap terbaik menghadapi tiap uji kehidupan. Semoga Allah menyayanginya.

Minggu, 05 Desember 2010

Dari Nol Hingga Suksesku Karena-Nya

by Ema Ari Apriliana di 12/05/2010 08:09:00 PM 4 komentar
“Semangat belajar naik turun” kalimat tersebut sangat tepat dengan yang sering saya alami. Saya merasa yang namanya belajar itu sering berujung pada jenuh, bosan, dan mengantuk. Mungkin itu juga yang di rasakan beberapa anak di sekolah saya. Daripada bohong, lebih baik saya jujur aja... saya termasuk orang yang belajar lebih tergantung pada mood dalam diri saya.  
Kurang lebih 2 tahun yang lalu (ketika saya kelas 2 SMP) tepatnya pada tanggal 3 Mei 2009, OSIS di sekolah saya mengadakan acara bedah buku. Mereka mengundang penulis buku “Bikin Belajar Selezat Coklat”  (buku yang akan di ulas dalam acara tersebut), bang Fatan Fantastik. Dari judulnya aja dah bikin saya penasaran. Ditambah lagi gaya dan cara penyampaian Bang Fatan yang luar biasa menarik, bikin semua hadirin yang ada di situ terbawa suasana yang menyenangkan. Nah, mulai dari situ saya tertarik dengan buku tersebut dan ngebet banget untuk segera membeli dan membaca buku tersebut lebih lengkap.
            Untuk mendapatkan buku tersebut sebenarnya sangat mudah karena sudah disediakan sama anak-anak OSIS. Namun ketika saya memeriksa dompet, alamaak!! saya mengurungkan niat untuk membeli buku yang sudah tersedia di pihak OSIS tersebut. Uang di dompet ternyata dah mepet banget, boro-boro tuk beli tuh buku. Bisa nyampai akhir bulan aja sudah bagus. Saya  selama 3 tahun duduk di bangku SMP bertempat tinggal di asrama, jadi jangan heran. Karena uang saku sudah terpakai untuk kepentingan yang lain, itu berarti saya harus sabar dan menunda keinginan untuk beli buku sambil menunggu transfer dari orang tua di awal bulan. Selain itu, saya juga harus lebih banyak menyisihkan uang saku setiap bulan untuk menabung jika ingin cepat memiliki buku tersebut.           
Seperti yang di katakan pepatah, Banyak jalan menuju Roma. Jika tak punya modal untuk membeli, meminjam pun jadi. Untuk mengobati rasa penasaran saya terhadap isi buku tersebut, saya mencari teman atau adik kelas yang sekiranya sudah memiliki buku tersebut. Setiap kamar di gedung asrama sekolah saya masuki. Saya bertanya pada seluruh penghuni kamar, dan satu persatu anggota kamar saya tanya (kayak intellejen aja). Namanya juga usaha, mesti ulet betul nggak?!. Setelah hampir 2 hari saya keluar masuk seluruh kamar di asrama, akhirnya pertolongan Allah datang juga!! Saya temukan teman yang sudah memiliki buku tersebut bahkan sebelum di adakan acara bedah buku waktu itu. Senengnya bukan main, duh… ternyata usaha saya nggak sia-sia! Tapi belum juga 30 detik saya merasa berbunga-bunga, kecewa yang tak kalah dahsyat pun saya alami. Saya terlambat, buku tersebut sudah memiliki antrian yang cukup banyak. Wuah, rasanya… kecewa berat euy! Tapi meskipun antriannya banyak, saya tetap mengantri dan menyempatkan waktu sejenak untuk membacanya sekilas.
***
            Agustus 2009, saya sudah duduk di kelas IX. Senangnya… tahun ajaran baru, siswa baru (maksudnya baru naik kelas IX), ruang kelas juga baru. Begitu menginjak kelas IX nuansa dan aroma persiapan menghadapi ujian nasional mulai terasa. Beberapa siswa mulai larut dalam ketegangan dan kecemasan, maklum UAN adalah tahapan yang sangat penting bagi semua siswa untuk menuju jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Belum lagi pikiran dan keinginan untuk tetap mempertahankan indahnya prestasi sekolah yang telah diukir kakak-kakak kami. Kami harus bisa menebar aroma prestasi yang lebih dari kakak-kakak kami. Bismillah… makin deg-degan aja. Tak hanya siswa yang perasaannya gak karuan, guru juga ikut pontang-panting demi anak didiknya agar siap mental dan kemampuan. Guru kami pun rela mengorbankan banyak waktunya hanya untuk mendampingi siswanya dalam belajar. Siswa dan guru senantiasa meningkatkan ruhiyah dan ma’nawiyah masing-masing.   
Belum lama di bangku kelas IX, Lia teman saya menunjukkan sebuah buku yang berjudul “Ujian Suksess Tanpa Stress” karya bang Fatan juga. Lihat nama penulisnya plus kata ‘Ujian’ di bagian cover depan, serasa ada magnet yang menarik diri saya untuk membacanya. Kebetulan banget buku itu nganggur dan belum ada teman yang meminjam, Lia juga sedang tidak membacanya. Wah, kesempatan bagus nih! Sikaat… pinjam bukunya, baca isinya.
            Cukup lama buku tersebut ada di tangan saya, dan berakhir ketika Lia meminta kembali karena ia membutuhkan buku tersebut. Maklum, kami sama-sama duduk di kelas 9. Namanya juga minjem, mau gak mau ya harus di kembaliin lah. Memang akan lebih nyaman jika kita membaca buku milik kita sendiri. Karena saya merasa butuh, saya ingin memiliki buku tersebut. Di lihat dari isinya, buku itu sudah cukup lengkap. Mulai dari definisi ujian itu sendiri, tips yang membuat kita akan lebih nyaman dalam menghadapi ujian, sampai doa-doa sukses ujian pun ada. Kalau di umpamakan martabak, martabaknya special pakai telur dua. Dan saya merasa buku tersebut akan lebih bermanfaat jika saya memilikinya saat itu.
Setiap tahun, sekolah saya selalu mengadakan kunjungan ke Islamic Book Fair (IBF) Jogja. Tepat ketika itu satu setengah bulan lagi, pihak sekolah menjanjikan kepada semua siswa baik putra maupun putri untuk berkunjung ke IBF. Saya pun menunggu waktu itu dengan tidak sabar. Karena di saat itulah, saya bisa jalan-jalan sambil melihat, membaca maupun membeli buku-buku yang ada di pameran.     
Saking semangatnya, ketika jadwal kepulangan (setiap satu bulan sekali ada jadwal kepulangan untuk siswa) saya membuat checklist buku macam apa yang ingin saya beli dan tentu saja, tak lupa membeli buku untuk adik. Tak hanya membuat checklist, saya pun turut hadir dalam forum diskusi keluarga untuk membahas beberapa persoalan alias berunding dengan ayah tentang uang saku yang akan saya bawa ke IBF. Alhamdulillah, ayah saya selalu memberi dana yang lebih dari cukup untuk buku, selama buku tersebut bermanfaat. Uang untuk ke IBF tidak saya pegang sendiri, melainkan ayah saya mentransfer uang tersebut ke rekening sekolah agar lebih aman, mengingat IBF masih beberapa pekan lagi.
Tetapi proses mengambil uang transfer tidak semulus ketika mengirim uang transfer. Empat hari sebelum ke IBF (Rabu) saya memutuskan untuk mengambil transfer dari orang tua saya. Namun ketika saya bertanya pada guru yang mengurusnya, beliau menjawab bahwa beliau pada hari itu tidak mengecek tabungan di bank. Esoknya saya kembali menanyakan perihal yang sama kepada guru yang sama pula, dan beliau berkata akan mengecek transfer pada hari Jumat. Ketika hari Jumat saya pergi ke kantor Tata Usaha untuk mengambil transfer, Alhamdulillah nasib baik belum memihak pada saya. Guru yang bersangkutan sedang tidak ada di kantor, beliau sedang pergi. Selama empat hari, setiap jam istirahat saya mondar-mandir dari kelas ke kantor, fiuuh…udah kayak setrika baju aja. Malamnya, rasa khawatir mulai merasuki sedikit demi sedikit. Jika uang tersebut tidak sampai ke tangan saya, (setidaknya pada hari Sabtu) maka saya tidak akan membawa uang saku ke IBF dan itu berarti sangat mungkin bagi saya jika nantinya saya hanya bisa memandangi tanpa membeli buku satu pun. Allah... semoga itu tidak terjadi, harap saya. Hari Sabtu pada jam istirahat sekolah, saya mencoba kembali menemui ibu guru yang mengurus transfer. Dan hal yang tidak enak menimpa saya kembali. Ibu guru tersebut tidak sedang berada di kantor. Rasa khawatir tadi malam mulai datang dan semakin menjadi. Tapi saya tidak menyerah sampai situ saja. Kalau saya menyerah, pada akhirnya tragedi cinta tak sampai akan terjadi (maksudnya nanti saya bakal kecewa). Siangnya, setelah sholat dhuhur saya mencoba kembali menemui beliau di kantor Tata Usaha. Saya berharap beliau belum pulang, karena jika hari sabtu KBM hanya berlangsung hingga pukul 12.00 siang. Alhamdulillah… Allah menunjukkan jalan keluarnya. Setelah kurang lebih empat hari tertunda, siang itu saya dapat mengambil transfer dari orang tua saya. IBF, I’m coming!!

***
            15 Oktober 2009, saya berada di Islamic Book Fair Jogja bersama teman-teman. Ketika kami sampai di IBF, kami harus menunggu lumayan lama karena gedung pameran belum di buka. Kami terlalu pagi sampai di Gedung Wanitatama.
 Melihat gedung pameran mulai di buka, saya ingin berteriak “Ayo serbuuu…!!” tapi gak mungkinlah saya teriak, nanti di kira saya mau demo di gedung pameran tersebut. Bukannya beli buku malah ngajak rusuh. Saya berkeliling di banyak stand buku yang tersedia. Kegiatan saya hunting buku di temani Itqi, teman sekelas saya. Dari awal saya sudah berniat harus berkunjung ke stand Pro-U Media, dan kami memutuskan untuk pergi mencari stand Pro-U Media sambil melihat-lihat buku di stand lain yang tidak terlalu padat pengunjung.
Entah kenapa, minat saya untuk membeli buku “Bikin Belajar Selezat Coklat” berkurang. Ibaratnya jika di presentasikan, 75% saya ingin membeli buku “Ujian Suksess Tanpa Stress” dan 25% ingin membeli buku “Bikin Belajar Selezat Coklat”. Saya pun memutuskan untuk membeli buku “Ujian Suksess Tanpa Stress”. Untuk buku “Bikin Belajar Selezat Coklat” saya bisa minjem punya Ufi, meskipun antriannya panjang.
Di stand Pro-U Media, saya membeli dua buku. Ketika kami hendak membayar buku yang akan kami beli di tempat pembayaran, mas yang berjaga di stand tersebut berkata kepada kami,
“Dek, bang Fatan lagi disini lho sekarang! Pengen minta tanda tangan nggak?” diberi tawaran seperti itu, kami saling berpandangan. Hmm… boleh juga! Mumpung ada kesempatan, kenapa gak di ambil? Itqi juga memberi isyarat kepada saya, jika dia juga mau mendapat tanda tangan Bang Fatan.
“Boleh mas,”
“Tapi bang Fatan lagi keliling. Kalau kalian mau, bukunya di tinggal aja di sini nanti di ambil lagi.” Mas tersebut memberi solusi.
“Iya deh. Makasih mas,”
Ketika kami sudah di depan stand tepatnya sudah keluar dari stand Pro U, guru kami menegur,
“Ayo mbak, mau pulang nggak? Ketinggalan bis nanti kalian,” Ya Allah… kayaknya baru aja sampai di IBF, kok udah mau pergi? Kunjungan ke IBF waktu itu memang lebih singkat di banding kunjungan pada tahun-tahun sebelumnya. Kami merasa belum puas berkeliling mencari buku. Mau tak mau, kami memang harus kembali ke rombongan yang mulai berkumpul di tempat parkir. Terpaksa kami mengambil buku yang kami titipkan tadi. Wuaa… malu deh!
“Aduh mas, maaf mau di ambil lagi bukunya. Tadi pak gurunya kita menghimbau untuk segera kembali ke rombongan.” Itqi berkata kepada mas tersebut.
“Iya nggak apa-apa dek. Mungkin lain kali,”
Ketika kami berjalan hendak menuju pintu keluar gedung pameran, saya tercengang. Saya pun berhenti sejenak untuk sekedar meyakinkan diri saya sendiri.
“Mbak Itqi! Itu kan bang Fatan,” ucap saya spontan ketika melihat bang Fatan sedang mengobrol dengan salah satu guru kami. Tempat beliau berdua mengobrol ternyata hanya berjarak 2 atau 3 stand dari stand Pro U. Allah… ternyata, yang di tunggu berdiri gak jauh dari stand yang baru aja kami kunjungi. Capek deh!
“Eh iya, tapi kok lagi ngobrol? Nanti nggak sopan kalau motong pembicaraan cuma buat minta tanda tangan.” Kata mbak Itqi, dan saya hanya menganggukkan kepala tanda setuju. Karena tadi sudah mendapat himbauan untuk segera kembali ke tempat parkir, kami pun bergegas keluar dari gedung pameran. Ada sedikit rasa kecewa. Karena ketika di stand Pro U bang Fatan tidak ada, ternyata tidak jauh dari situ bang Fatan sedang mengobrol dengan salah satu guru kami. Tetapi kecewa itu tidak berlangsung lama, karena setelah itu kami tertawa bersama mengingat kejadian pencarian tanda tangan tersebut. Dan kecewa itu juga terbayar dengan buku yang sudah kami miliki. Let’s read!!

***
Kelas IX adalah saat dimana seorang siswa SMP harus berkutat dengan banyak latihan soal, pelajaran tambahan, dan materi-materi yang sudah di dapat selama berada di bangku SMP. Dan itu juga yang saya alami ketika berada di bangku kelas IX. Mulai dari ulangan mid semester I, ulangan akhir semester I, Try Out, Uji Coba, dan akhirnya berujung pada Ujian Nasional. Rasa penat dan jenuh tak jarang sesekali menghampiri.
Ada kejadian yang masih saya ingat yaitu ketika menghadapi ujian akhir semester I di   hari pertama. Di dalam buku Ujian Suksess Tanpa Stress halaman 79, pada point 3. Masuk ruang ujian di sebutkan bahwa sambil menunggu ujian di mulai, bicara dengan teman samping kiri dan kanan. Ketika itu teman sebangku saya adalah anak kelas VIII, dan saya mencontoh obrolan ringan yang ada di buku tersebut.
“Gimana kabar keluarga? Sehat?” saya bertanya pada Khansa, teman sebangku pada ujian waktu itu. Yang di tanya malah merasa aneh, dan dia tertawa setelah mendengar pertanyaan saya.
“Hahaha… Mbak kenapa sih? kok tiba-tiba tanya kabar keluargaku?”
“Malah ketawa. Nggak apa-apa kok, cuma buat ngilangin rasa tegang.”
“Oh.. baik kok mbak. ”
Itu sedikit percakapan antara saya dengan adik kelas setelah memasuki ruang ujian dan menunggu kertas ujian di bagikan.
Memasuki semester II, latihan soal yang diberikan semakin banyak dan sering. Dalam buku catatan saya, tercatat satu semester di kelas IX saya menghadapi Try Out tujuh kali. Kalau latihan soal, jangan di tanya… makanan penutup ketika sarapan dan makan malam buat anak kelas IX adalah latihan soal dan rumus. Tapi meski begitu, semangat tetap teruuus…!!!
Malam itu ketika saya sedang belajar untuk persiapan Try Out yang ke sekian, saya merasakan jenuh melihat latihan soal dan materi di hadapan saya. Dan saya ingat bahasan di buku “Ujian Suksess Tanpa Stress ketika malam menjelang ujian, belajar sekilas dan melakukan aktivitas yang ringan. Segera saya mengambil majalah remaja Islam, duduk di atas kasur dan mulai membacanya. Adik kelas yang melihat ulah saya berkomentar,
“Lho mbak, besok kelas IX ada Try Out kan?”
“Iya” saya menjawab sambil tetap membaca.
“Mbak Ema kok malah baca majalah, nggak belajar?” adik kelas saya merasa heran.
“Udah, belajar sekilas. Besok pagi di ulang lagi. Menurut buku yang udah aku baca, malam menjelang ujian belajar sekilas aja. Terus, melakukan aktivitas yang ringan. Sekarang aku lagi baca majalah plus mendengarkan nasyid.” Jawab saya. Setiap kamar di asrama sekolah saya di beri satu speaker. Dan setiap malam ba’da isya, di putarkan nasyid untuk menemani siswa balajar.
“Wah, besok kalau aku kelas IX juga mau kayak gitu ah.” Kata adik kelas saya, saya hanya tersenyum sambil melanjutkan membaca majalah.
Di sela-sela belajar untuk persiapan ujian, refreshing sangat di perlukan untuk mengurangi kejenuhan dalam belajar. Tetapi tetap ingat, refreshing seperlunya saja. Jangan kebangetan! Belajar 15 menit, refreshingnya 30 menit. Kalau kayak gitu caranya, kapan mau belajar ??  
Untuk refreshing akhir pekan yang murah meriah, saya bersama beberapa teman jalan-jalan pagi setelah sholat subuh atau setelah sarapan. Tempatnya tidak perlu jauh-jauh dari lokasi sekolah, cukup melihat hamparan sawah yang hijau dan berjalan di sepanjang pematang sawah atau melihat matahari terbit dari halaman depan masjid (di sekitar sekolah kami banyak sawah). Dengan melihat panorama alam yang indah kami dapat  mengingat betapa Allah itu Maha Besar dan Maha Agung. Sambil menghirup udara pagi, melihat pemandangan yang hijau, dan di temani dengan pisang molen yang masih hangat. Wah! Subhanallah, enaknya… (akhwat golden generation, aku rindu kalian!). Betapa bersyukurnya kami masih di beri penglihatan untuk melihat kebesaran-Nya. Alhamdulillah…
Atau bisa juga refreshing dengan berolahraga. Saya sering bermain badminton untuk sekedar refreshing bersama teman saya, Salsa. Itung-itung di samping menyehatkan badan juga menyegarkan pikiran. Banyak alternatif untuk refreshing yang mudah, murah, dan menyenangkan. Suka yang murah-murah, maklum saya kan anak perantauan. Jadi harus hemat!
Di bagian gerbang belakang dari buku “Ujian Suksess Tanpa Stress”, di beri kumpulan doa-doa sukses ujian. Karena ada beberapa doa yang tidak saya hafal, saya menulisnya dalam selembar kertas yang kemudian saya lipat dan saya masukkan ke dalam kotak pensil. Itu kertas isinya full doa, bukan contekan… hari gini ujian nyontek? (Kalau kata bang Fatan, orang yang nyontek sama saja dengan ia sedang menghancurkan masa depan dunianya dan (pasti!) akhiratnya. So, kalau nyontek kita sendiri yang rugi). Ketika di dalam ruang ujian atau ketika hendak memasuki ruang ujian, saya membaca doa tersebut berharap Allah selalu memberikan kemudahan kepada saya dalam mengerjakan soal. Lembaran kertas yang berisi doa tersebut selalu menemani saya ketika Try Out selama kelas IX. Karena di baca berkali-kali, lama-kelamaan saya hafal beberapa doa yang pada awalnya saya tidak hafal. Dan ketika Ujian Nasional datang, saya sudah tidak membawa catatan doa tersebut. Alhamdulillah, waktu itu saya sudah hafal doa-doa yang saya tulis di selembar kertas tersebut. Setelah saya memekikkan takbir bersama teman-teman satu generasi, maka Bismillahirrahmanirrahiim… saya SIAP untuk menghadapi Ujian Nasional. Seperti yang Bang Fatan bilang, “Insya Allah aku bisa lulus UAN!”.
Alhamdulillah, saya lulus Ujian Nasional dengan nilai yang baik. Ujianku Sukses! ( betul kata bang Fatan, lulus ujian itu uuueenaak… tenan! ) Allah tidak pernah lelah mendengar doa hamba-hamba-Nya. Dan Allah telah memberikan hasil Ujian yang terbaik bagi saya. Fa biayyi aalaa irabbikumaa tukadzibaan : Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (Ar-Rahman : 13)

Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html 

 

Catatan si Sawi Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review